Studi: Banyak Gen Z Berhenti Bekerja karena ‘Balas Dendam’, Ini Penyebabnya

Jakarta – cuan128 Generasi Z (Gen Z) yang kini mencapai usia 20-an tengah berada di dunia pekerjaan. Namun, studi menemukan bahwa banyak Gen Z yang memilih untuk berhenti bekerja karena ‘balas dendam’. Apa maksud dan alasannya?
Menurut laporan Forbes, yang dikutip Selasa (27/5/2025), tren berhenti kerja karena balas dendam atau dikenal sebagai “revenge quitting” merupakan cara karyawan berhenti dari pekerjaan tapi dengan pernyataan yang ‘tegas’.

Penyebabnya karena frustrasi dengan lingkungan yang buruk, struktur yang dianggap kaku, dan ekspektasi dalam pekerjaan yang tidak terpenuhi. Kondisi tersebut membuat pekerja muda dengan lantang memilih keluar kerja.

“Gerakan ini dipimpin oleh Gen Z, generasi yang memprioritaskan kesehatan mental, keseimbangan kehidupan kerja, dan karier yang berorientasi pada nilai-nilai ketimbang keamanan kerja tradisional,” tulis Forbes.

Pernyataan tegas diungkapkan sebagai bentuk protes dan keyakinan bahwa mereka (pekerja Gen Z), tidak harus bertahan di tempat kerja yang tidak menghargai mereka.

Survei lain oleh konsultan perangkat lunak Software Finder pada awal 2025, juga menunjukkan bahwa 4 persen karyawan penuh waktu di AS mempertimbangkan untuk mengundurkan diri sebagai balas dendam untuk tahun ini.

Kenapa Banyak Gen Z Berhenti Kerja untuk Balas Dendam?
Berikut tiga alasan mengapa Gen Z berhenti kerja karena balas dendam, menurut penelitian.

1. Kelelahan karena Budaya Kerja yang Ekstrem

Sebuah studi tahun 2023 yang terbit di Humanities and Social Sciences Communications menemukan bahwa budaya kerja yang ekstrem, jam kerja yang panjang, dan beban kerja yang berlebihan berkontribusi secara signifikan terhadap tekanan psikologis dan ketidakpuasan di kalangan pekerja Gen Z.

Berbeda dengan karyawan yang lebih tua yang mungkin sudah bisa menoleransi kondisi ini, Gen Z memandang kelelahan sebagai titik puncak. Saat mereka keluar, mereka memastikan ketidakhadiran mereka akan terasa.

Bagi pekerja Gen Z, berhenti kerja bukan hanya soal mempertahankan diri, tapi juga sebagai respons terhadap kondisi tempat kerja yang dirasakan. Terutama menyoal tempat kerja yang mengeksploitasi jam kerja karyawan tanpa kompensasi yang adil atau pertumbuhan karier yang ideal.

2. Dunia Kerja yang Tengah Berubah

Tak hanya membawa tren dan gaya hidup baru. Gen Z datang seiring dunia kerja yang juga tengah berkembang.

Jika generasi sebelumnya belajar untuk memprioritaskan stabilitas pekerjaan, maka Gen Z memprioritaskan tujuan, fleksibilitas, dan keselarasan etika daripada gaji tetap. Dalam hal ini Gen telah mendefinisikan ulang arti dari berkarier.

Studi tahun 2019 yang terbit di The International Journal of Management Education, menemukan bahwa Gen Z lulusan bisnis fokus pada pengembangan keterampilan dan pertumbuhan karier, di tempat kerja yang selaras dengan nilai-nilai pribadi dan profesional mereka.

Hal ini yang kemudian memicu banyak Gen Z mengundurkan diri dari tempat kerja. Salah satunya karena ketidaksesuaian etika dan bukan sekadar ketidakpuasan finansial.

Studi juga menunjukkan bahwa organisasi/perusahaan gagal menawarkan pekerjaan yang bermakna bagi pekerja muda dan pengembangan profesional untuk mempertahankan talenta muda.

3. Kesehatan Mental Jadi Prioritas Utama

Generasi sebelumnya mungkin akan cenderung bertahan meski mereka tidak nyaman. Tujuannya demi tetap memiliki penghasilan atau pekerjaan.

Namun, berbeda dengan Gen Z yang cenderung tidak ingin terjebak di situasi tidak nyaman secara mental. Bagi Gen Z, kesehatan mental menjadi prioritas utama dan ketika pekerjaan mengancam kesejahteraan mereka, mereka tidak takut untuk meninggalkannya.

Menurut survei pada 2022 yang dilakukan McKinsey & Company, 55 persen pekerja Gen Z melaporkan telah didiagnosis atau dirawat karena kondisi kesehatan mental, jauh lebih tinggi daripada kelompok usia lainnya.

Hal ini membuat mereka akhirnya kurang toleran terhadap budaya tempat kerja yang tidak sehat, struktur yang kaku, atau beban kerja berlebihan. Imbasnya, pekerja muda mungkin memutuskan untuk mengundurkan diri secara tiba-tiba, sebagai pesan tentang bagaimana tempat kerja telah mengecewakan mereka.

Ketidakpastian kesejahteraan psikologis di dunia kerja, akan berpotensi meluas ke kehidupan lain. Maka dari itu, pekerja Gen Z memilih berhenti sebagai cara untuk menjaga keseimbangan hidup mereka.

Fenomena yang terjadi bukan soal tren sesaat, tapi sebagai cerminan tenaga kerja yang menolak menanggung kondisi yang tidak menyenangkan dalam diam. Generasi Z sedang membentuk kembali definisi loyalitas di tempat kerja, dengan memperjelas bahwa rasa hormat, fleksibilitas, dan kesejahteraan mental yang tidak dapat dinegosiasikan.

Untuk mengurangi risiko tren ini, perusahaan dinilai perlu memikirkan kembali kebijakan dan budaya tempat kerja yang sudah ketinggalan zaman. Misalnya dengan menangani kelelahan pada akarnya, daripada mengharapkan karyawan menanggung beban kerja yang tidak berkelanjutan.

Kemudian bisa menyelaraskan nilai-nilai perusahaan dengan harapan karyawan, memastikan bahwa masalah etika, keberagaman, dan inklusi bisa menjadi prinsip inti di tempat kerja. Perusahaan juga perlu memprioritaskan kesehatan mental dan memberikan karyawan kendali atas jadwal dan lingkungan kerja mereka.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *